Aku terus memijat punggungnya, sedikit lembut. Terasa sekali tulang-tulang belakangnya kini teraba. Ahh, sahabatku kini sudah sangat kurus. Kadang ia membuka matanya mengajak ngobrol dengan suara lirih, kadang hanya memejamkan mata, tapi aku tahu ia tidak tertidur.

Aku terus memijatnya, sesekali ia menyahut, ‘enak pijatannya yaa, Dee’, aku tersenyum tertahan, berusaha untuk memastikan aku senang melakukannya dan senang bertemu dengannya. Sekuat tenaga aku berusaha normal selayaknya kalau kami bertemu. Pertahananku hampir jebol ketika setitik airmata tetiba muncul di ujung-ujung mataku saat sahabatku ini bercerita tentang perjalanan-perjalanan kami. Kacamataku berembun. Aku harus kuat.

Sahabatku ini (sebut saja Mentari) sangat tidak mau mengusik siapapun ketika sakit. Aku tahu ia sakitpun karena ketidaksengajaan. Lebaran dua tahun lalu, sambil makan malam di meja makan, kami bertiga (aku, Mentari, dan sahabatku yang lainnya, sebut saja Melati) ngobrol ngalor ngidul. Dengan suara santai dan masih selayaknya ngobrol biasa, Mentari berucap ‘oh ya, gue akan segera operasi pengangkatan tumor yaa, di usus, segera’. Kami berdua terdiam, Melati hanya terdiam sejenak, menoleh ke arahku dan tiba-tiba marah-marah ke Mentari. Info ini membuatnya terkejut dan merasa tertinggal, tidak menerima bahwa informasi ini tidak ada pembukaan atau proses kenapa operasi ini harus dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Melati ini temperamental, tapi sahabat yang paling sangat peduli ngurusin kami ini dan itu jika bertemu, sesimpel menyediakan hand gel untuk membersihkan tangan sebelum ngemil. Ahhh, Melati, I know how hurt you feel.

Itu dua tahun yang lalu. Singkat cerita, setahun setelahnya, setelah pengangkatan tumor, Mentari harus menghadapi bulan-bulan yang panjang dengan kemo dan pengobatan, plus beradaptasi dengan perubahan di tubuhnya. Ada selang kecil untuk kemo yang dipasang di tubuhnya, dan lain-lain. Sang Mentari masih bisa tampak ‘sehat’ dan ceria. Kerja seperti biasa. Kami bertemu sesekali, tetap dengan senyum, suaranya yang nyaring dan cerita-cerita tentang ‘keseruan’ kemo-nya. Mentari sangat mematuhi jadwal kemo, minum obat, terapi dan sebagainya, dan ini membuat aku semakin kagum dengan semangat sembuhnya diantara simpang siur informasi tentang sulitnya sembuh dari sel-sel tumor ini. Belajar bagaimana menyikapi hidup dengan keadaan seperti itu. Kami juga sempatkan jalan-jalan keluar kota, sesuai janji saya dan Melati untuk membawa sang Mentari menghirup udara pegunungan. It was just happy best friends’ moment!

Beberapa bulan setelahnya, kami dikejutkan lagi dengan sebuah berita, sel-sel tumor yang kata dokter sudah hilang dari ususnya itu, menyebar ke paru-paru. Harus ada lagi operasi pengangkatan tumor lanjutan. Kali ini situasinya berbeda, ceria sang Mentari sedikit berkurang sampai pada suksesnya operasi pengangkatan tumor di paru-parunya. Semakin hari keceriaan sang Mentari semakin berkurang karena tubuhnya mulai melemah, walau semangat itu masih tampak dalam cerita-cerita bagaimana ia bertemu pasien-pasien lain yang keadaannya jauh lebih parah dari sang Mentari. Ia masih sangat bersyukur. Terkadang ia juga menyemangati teman-teman barunya itu.

Aku tahu, kini Mentari mulai lelah dengan kemo-kemo lanjutan. Efek kemo-kemo lanjutan ini membuatnya semakin lemah. Keadaannya terus menurun. Berbagai info dan pengobatan alternatif-pun dicari. Kali ini, sang Mentari banyak di rumah, terbaring lemah. Puncaknya kemarin ketika Mentari mengalami kesulitan untuk bernapas, tersengal-sengal dan ‘terpaksa’ harus dibawa ke rumah sakit, lagi.

Aku betulkan letak kacamataku, untuk memastikan aku tidak akan menangis. Kucari jawaban pada langit-langit kamar, sambil tanganku terus memijat punggung Mentari. Sesekali aku lempar guyonan, membuat pembicaraan kami semakin renyah. Memastikan bahwa Mentari bisa tersenyum dalam kelemahan suaranya. ‘Aku mau bolunya’, akhirnya Mentari bersuara lirih dengan napas yang masih tersengal-sengal walau selang oksigen itu sudah terpasang di hidungnya. Ahhh, senangnya mengetahui ia mau makan sedikit karena betapa sulitnya makanan masuk ke mulutnya yang terasa pahit. Mataku terasa panas, sekuat tenaga aku tetap terlihat ceria dan menggodanya. Mentari tersenyum kembali, ‘Kalau tidak dimakan, nanti Melati marah yaa?’ Tanyanya. Semua orang di dalam ruangan tertawa. Melati tidak kuasa menahan airmatanya, bergegas lari lagi ke arah jendela yang membelakangi Mentari. Bolu itu Melati yang bawa.

Berat langkahku untuk pulang dan melihat Mentari dengan segala rasa yang ia coba tahan. Aku belajar banyak, sangat banyak. Bagaimana Mentari berjuang. Aku tidak akan pernah bisa merasakan sakitnya, hanya bisa memastikan aku bisa menjadi sahabat terbaiknya disaat Mentari sehat dan disaat ia sakit. Semalam dan pagi ini, aku tak kuasa menahan kesedihanku. Pikiranku berkecamuk. Duhai Pemilik hidup, Kau berikan cobaan ini kepada siapa saja yang Engkau pilih. Aku yakin, ini karena Engkau sangat mencintai ciptaan-Mu.

Kubuka-buka lagi catatan-catatan ngajiku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.” (HR. Tirmidzi, shohih).

Dan dari  Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ’anhu diriwayatkan bahwa ia menceritakan: Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda : ”Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan Allah hapuskan berbagai kesalahannya, seperti sebuah pohon meruntuhkan daun-daunya.” (HR. Muslim). Duhai Allah, Maha Pemilik hidup, anugerahkanlah kepada Mentari dan kami semua keyakinan dan kesabaran yang akan meringankan segala cobaan di dunia ini. Aamiin.

Persahabatan kami dalam ujian. Hidup ini ujian. Semoga ujian ini semakin mendekatkan kami, semakin membuat kami belajar dan menghargai hidup.

Kutunggu banyak senyum lagi darimu, Mentari…

-Catatan kecil untuk sahabat-