Baru saja duduk di kursi ruang tamu dengan semilir angin Bandung, tiba-tiba ponakan laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 2 SD datang menghampiri.
‘Tan, sepatuku sudah kekecilan. Tantan bisa besarin nggak?’
Dengan spontan, senyum simpulpun keluar. Lucu, pikirku, pertanyaan ini datangnya dari anak kelas 2 SD. Dengan mudah seharusnya bisa ditebak maunya apa. Namun saya tidak langsung mengiyakan. Sebagai orang yang terbiasa berdiskusi ringkas dan mengurangi putaran kalimat yang tidak perlu ditambah-tambah, saya balik bertanya, ‘Kok minta perbesar sepatu ke Tantan, kenapa tidak ke Tukang Sepatu?’
Ponakan kecilpun tersenyum dan berkata, ‘Oh iya ya, bener juga. Ha ha ha’. Diapun lanjut ke luar dan lanjut main.
Ini akan menjadi PR untuk dia (juga saya tentunya). Pesannya belum tersampaikan. Maksudnya minta dibelikan sepatu baru belum tersebut jelas. Ponakan kecil harus belajar menyampaikan ide lebih baik.
Saya sedang mencoba mengajarinya untuk biasa berpikir kritis, bagaimana menyampaikan sesuatu dengan baik, tetap sopan, tau adabnya. Tetapi tidak memutar kalimat sekedar ‘meminta lawan bicaranya mengerti maksud yang tersembunyi’.
Jika dibiasakan, semakin hari, bertambah waktu, umur, dan juga pengalaman bertemu orang, kita akan jadi terbiasa dengan pola yang sama jika tidak ada yang memperbaikinya. Membuat orang lain menebak-nebak mencari maksud dari putaran kalimat yang kita katakan.
—
Fenomena yang terjadi hari ini yang seringkali saya temui adalah, anak-anak muda ‘cerdas’ dengan banyak ide-ide hebat tapi tidak tersampaikan dengan jelas. Ide saja tidak cukup. Ide dan harapan sajapun bukan sesuatu yang tepat guna. Kecenderungan untuk menyampaikan sesuatu dengan berputar-putar agar tampak ‘hebat dan berwawasan’, bukanlah bagian dari komunikasi. Seharusnya komunikasi itu menjadi penjelas dari informasi yang disampaikan seseorang ke orang lainnya. Dua arah lebih baik. Kenyataannya, banyak yang gagal. Bahkan untuk membangun komunikasi untuk dirinya sendiri. Apa yang direncanakan diri, proses apa yang harus dibangun, tantangannya, kemungkinan-kemungkinan penunjang dan penghambat, jalan keluarnya, dan seterusnya. Jika ini dilatih, kitapun bisa lebih baik untuk mengkomunikasikan ide keluar dari diri kita sendiri, alias berbicara dengan orang lain. Yang sekarang banyak terjadi, banyak bicara tapi tampak seperti tong kosong yang seringkali nyaring bunyinya.
Penyampaian idepun hanya sekedarnya. Tidak dibarengi dengan data-data penunjang, pembanding, dan lainnya. Ide hanya ‘terdengar’ hebat, tapi tanpa proses menuju hasil yang diinginkan. Ide-ide itu dibiarkan disampaikan apa adanya dan berharap agar si pendengar paham apa maunya.
—
Ahhh, kalau begini, jadi PR panjang saya untuk berdiskusi dengan ponakan kecil… 😉