Pernah menghitung jumlah mahasiswa di kampus kamu? 4000, 10.000, atau 43.000?

Jika kamu sudah tahu jawabannya, seharusnya jawaban ini bisa membuat kamu bijak memutuskan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu.

Kurang lebih 16 – 18 tahun perjalanan pendidikan kita dari mulai TK sampai S1. Dari jumlah 16 – 18 tahun itu, pernah terpikirkan berapa banyak ilmu yang terserap dan diaplikasikan? Atau tidaklah perlu sefrontal itu, mari kita hitung fase terakhir, S1; 3.5 – 5 tahun. Pertanyaan diulang, berapa banyak ilmu yang terserap dan diaplikasikan?

Di luar tembok kampus, jumlah pembelajar terbuka bisa berjumlah miliaran, kompetisinya bisa kita kerucutkan tapi tetap saja jumlah mahasiswa di kampus tidak dapat menandinginya. Berapa banyak hal yang harus kita pelajari dan hadapi kalau begitu? Karena tidak dibatasi tembok, traffic ilmu pengetahuan beserta masalah-masalahnya pergi ke arah manapun mereka bisa lewat. Traffic manusia dengan berbagai kelebihan, keterampilan, dan pengalamannya juga bergerak ke arah mana saja yang mereka suka. Kitapun bisa dilibas jika tidak ikut bergerak, dengan strategi. Strategi tidak sekedar datang dari apa-apa saja yang kita pelajari dari buku, tapi dari apa-apa saja yang kita hadapi tanpa buku-buku itu, namun bersama waktu kita belajar mampu untuk menghadapinya.

Itu berarti, masih terlalu banyak PR yang harus dikerjakan. PR itu adanya di luar tembok kampus. Untuk tahu PR-nya itu apa, siapa yang membuat dan memberi PR tersebut kita perlu turun langsung ke lapangan. Jika sudah turun langsungpun, masalah belum selesai. Bagaimana mengisi soal-soal dalam PR tersebut? Berapa banyak pilihan yang tersedia dan cocok untuk diaplikasikan.

Di luar tembok kampus, jawaban itu dicari dalam bentuk interaksi, sulit? Pasti, ‘jika mudah’, silahkan kembali ke kampus. Di dalam tembok kampus, kita sudah bisa dengan mudah dan jelas mendapatkan interaksi ketika jadwal studi datang bersama nama dosen yang akan mengajar bidang studi tersebut. Biasanya langsung kita kepo-in ya? Kita yang bayar dan memilihnya (terpaksa memilih) bukan?

Di luar tembok kampus, peta yang ada dihadapan kita adalah peta buta, kita harus menjalani setiap meternya untuk mengetahui berapa jarak yang harus ditempuh untuk mengetahui satu lokasi beserta namanya. Dan menawarkan apa saja disana ketika kita tiba ditujuan.

Selayaknya bekerja, hal-hal inilah yang harus kita lakukan. Berat, tapi harus dilakukan. Berpikir untuk kerja dimana saja sudah bikin sakit kepala, apalagi jika harus berpikir strategi apa yang harus diambil untuk terpilih menjadi karyawan diperusahaan tersebut. Lebih-lebih jika berpikir, berapa banyak saingan yang ingin menduduki posisi tersebut.

Ini artinya apa?

Artinya, tanda keras untuk kamu memulai proses (untuk) kerja sekarang. Tidak nanti setelah S2 ditempuh. Karena sekedar memiliki ijasah S2 tanpa pengalaman bekerja membuat kamu senilai dengan S1 (bisa kurang lho). Tho tidak ada bukti nilai usaha yang sudah kamu catatkan setelah S1. Setelah gelar sarjana disematkan. Format ini adalah format nilai kamu tanpa pengalaman. Hasilnya nol. Sedih? Sudah seharusnya. Karena pada faktanya, achievement kamu dimasa lalu adalah refleksi kamu dimasa sekarang dan dimasa depan. Seharusnya disegerakan, isi buku pengalamanmu itu. Segera.

So, buktikan apa-apa yang sudah kamu dapatkan di jenjang S1. Mulai pencarian pekerjaan apa saja yang akan tersedia dua tahun sebelum kita lulus S1. Bagaimana meningkatkan daya saing bahkan sebelum lulus S1. Cari peluang untuk meningkatkan keterampilan dan pengalaman jauh sebelum yang lainnya siap. Keahlian dan pengalaman tidak datang percuma, perlu diusahakan…

Bersiap untuk menjadi pesaing yang
berijasah S1 tapi serasa S2. Atau nantinya
setelah bekerja, lanjut S2, hasilnya serasa
S3. Dan seterusnya, plus one kita tetap
dijaga.

Jika demikian ceritanya. Kamu pilih yang
mana?

-Deedee-