Enam setengah tahun yang lalu.

‘Serius, saya sudah bisa dan tahu cara mempresentasikan ide tim ini, jadi tidak perlu berlatih lagi.’

Saat itu, saya baru saja bergabung pada sebuah program training pengembangan soft skills yang diperuntukkan bagi mahasiswa dan mahasiswi Indonesia. Saya terpilih menjadi salah satu dari tiga fasilitator yang memfasilitasi training soft skills untuk 120 anak-anak muda dari berbagai macam latar belakang, universitas, dan jurusan dari seluruh Indonesia. Dan mahasiswa-mahasiswa yang terpilih ini rata-rata adalah mahasiswa-mahasiswa yang di atas kertas tampak sungguh sangat menjanjikan. Sekaliber debater, pemegang peran penting di organisasi-organisasi kampus seperti HIMA dan BEM, berpengalaman diberbagai program beasiswa, pemenang dalam lomba-lomba mahasiswa, dan sederet prestasi lainnya. Bayangannya adalah, mahasiswa-mahasiswa hebat. Hebat dalam prestasi, tutur kata, dan tingkah laku. Atau ini hanya harapan saya saja? Bisa jadi. Namun cerita belum selesai disini.

National Conference

Kegiatan pertama untuk 120 anak-anak muda terpilih ini adalah mengikuti National Conference di Jakarta. Kegiatannya super padat, menguras otak dan tenaga. Namun tetap terasa menyenangkan. Hari pertama dilewati dengan baik.

Jadwal kegiatan di hari kedua adalah kerja kelompok untuk menjawab sebuah permasalahan, membuat solusi atau ide, dan mempresentasikannya dalam bahasa Inggris. Sangat menantang.

Setelah pemilihan secara acak, jadilah dua belas kelompok kerja. Disetiap kelompoknya terdiri dari 10 mahasiswa dari kampus yang berbeda.

Kami, tim fasilitator, bertugas untuk mengawasi dan memberi dukungan pada jalannya diskusi disetiap kelompok-kelompok ini. Kami ditugaskan untuk memastikan jalannya diskusi efektif dan tepat sasaran. Kami bergantian mengunjungi kelompok-kelompok yang berjumlah 12 ini. Sampai tibalah saya menghampiri salah satu kelompok di sayap paling kiri ruangan. Sedikit terusik karena tampak tidak banyak diskusi terlihat. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri atau dengan teman sebelahnya. Jalannya diskusi baru sekitar 15 menit dari jumlah 30 menit yang diberikan. Penasaran, saya tanyakan apakah mereka sudah selesai dan siap dengan presentasi yang ditugaskan.

Salah satu anak yang sedang sibuk dengan iPad-nya, sebut saja Arto, menjawab, ‘sudah’. Karena mendengar jawaban itu, saya tergelitik untuk meminta mereka, khususnya Arto, yang saat menjawab saya tadipun tidak menoleh ke arah saya, untuk menampilkan hasil diskusinya dan latihan untuk mempresentasikannya di depan saya.

‘Tidak perlu, saya sudah bisa, sudah bagus’, jawab Arto.

Saya memintanya kembali, ‘kalau sudah bagus, sudah bisa, seharusnya mudah yaa untuk sekejap ditampilkan. Saya hanya mau melihat presentasi ide kelompok ini di 30 detik pertama saja.’ Lanjut saya.

Dan jawabannya adalah, ‘Serius, saya sudah bisa dan tahu cara mempresentasikan ide tim ini, jadi tidak perlu berlatih lagi.’ Protest Arto.

‘Saya tunggu sekarang,’ saya tidak bergeming dari tempat berdiri saya sedari awal mula terjadi percakapan.

Mendengar jawaban seperti itu dari salah satu mahasiswa ini sebenarnya membuat saya kesal namun rasa tertantang. Selain memang faktanya mengkhawatirkan. Tiga hal yang menjadi masalah; satu karena tidak bisa menunjukkan bukti atas informasi yang diberikan, sekedar ‘merasa bisa’, dua karena tidak ada respon positif atas permintaan saya sebagai fasilitator sebagai evaluator, tiga karena Arto menjawab dengan cara yang tidak pantas; menjawab tanpa melihat ke arah saya, terlihat acuh tak acuh sementara fokusnya tertuju pada iPad di tangannya.

Ada rasa kecewa dan marah dengan sikap Arto ini, tapi saya melihat peluang. Berpikir rasional, dalam hitungan kurang dari satu menit saya mencoba membangun strategi bagaimana menghadapi polah tingkah anak muda seperti Arto. Anak-anak muda yang katanya super ambisius tapi super cuek dengan ‘proper attitude’. Anak-anak muda dengan sederet prestasi dalam urutan kata selebar kertas A4 sebanyak 2, 3, 4, atau lebih halaman. Saya jadi tertantang untuk mengetahui lebih jauh. Saya perlu bukti.

Teman-teman sekelompok Arto mulai riuh, meminta Arto untuk melakukan presentasi yang 30 detik itu. Untuk meredam keramaian, Arto akhirnya meng-iya-kan. Arto berdiri dengan sungkan dan mempresentasikan ide kelompoknya. Namun, belum lagi 30 detik itu selesai, Arto saya hentikan.

‘Maaf, Arto, kamu bilang kamu sudah bisa, sudah bagus. Nyatanya, presentasi yang baru saja kamu lakukan tadi adalah presentasi pembuka yang paling membosankan yang pernah saya lihat dan dengar’, protest saya pada Arto dengan tajam.

‘Jika saya boleh kasih saran, ini yang akan saya lakukan,’ dan langsung saya beri contoh pada Arto dan teman-teman di kelompoknya.

Berhasil! Contoh yang saya berikan memberikan efek jera. Saya bisa rasakan jika Arto terkejut sejadi-jadinya. Mukanya tampak memerah, seraya menahan malu. Seluruh anggota kelompoknya riuh. Meminta Arto untuk berlatih lagi dan mencoba teknik yang baru saja saya contohkan. Tidak lama, saya tinggalkan Arto dan kelompoknya. Saya masih merasakan mata Arto mengikuti kepergian saya.

Arto mendapatkan pelajaran yang sangat berharga hari itu. Di atas langit ada langit. Ketika kita merasa mampu dan cukup, sehingga merasa pantas untuk tidak peduli dengan tawaran yang datang, kita bisa saja terjerembab. Jatuh.

Belajar untuk mendengar dan menghargai itu memang berat, apalagi jika kita sudah merasa di atas angin. Terlena sampai tidak peduli lingkungan sekitar. Hati-hati, tetap harus awas. Karena sewaktu-waktu bisa saja ada bentuk angin lain yang lebih keras dan besar meruntuhkan tempat kita berpijak. Kesadaran jadi datang terlambat. Malu pun tak sungkan tampak.

Akhir cerita, Arto memakai strategi yang saya berikan untuk presentasi mewakili kelompoknya. Arto berhasil. Arto dan kelompoknya mendapatkan standing applause.

Lesson learned. Hard.

— When a memory knocked, Deedee —