Ketika selepas SMA mengikuti kursus Bahasa Inggris, saya pikir saya sudah sangat terlambat memulainya. Namun pada kenyataannya ada yang jauh lebih terlambat dari saya, seorang teman yang sudah bekerja sebagai OB sebuah perusahaan. Sebut saja namanya Jati.

Setelah beberapa bulan kursus, saya mengikuti kelas tambahan, kelas ekstrakurikuler. Dan saya bertemu Jati disini. Kelas ekstrakurikuler ini cuma satu kali dalam seminggu, hari Sabtu malam. Di kelas ini, seluruh anggota akan mendapat giliran memimpin sebuah diskusi setelah mempresentasikan sebuah topik.

Pertama kali berbincang dengan Jati saya pesimis bahwa kelas ekstrakurikuler ini adalah kelas yang tepat diikuti, karena memang dibuat sedemikian rupa sebagai kelas diskusi dan presentasi. Bukan kelas pemula. Dan Jati tampak kesulitan bahkan hanya sekedar berbincang topik yang mudah. Kebayang apa yang terjadi jika nantinya mendapat giliran untuk memimpin diskusi. Lebih-lebih untuk presentasi depan kelas.

Awal-awal sekelas tidak banyak yang membuat saya tertarik melihat Jati karena merasa harus kerja ekstra ketika sekedar berbincang dengannya. Saya tidak merasa sudah hebat, tapi percakapan biasa saja, saya sudah cukup lancar. Tidak banyak tersendat. Saya menjadi anggota yang sangat normal. Sebisa saya. Kebetulan saya menjadi anggota termuda saat itu. Tapi tidak dengan Jati.

Sampai suatu hari, si Jati ini mendapat giliran untuk presentasi dan memimpin diskusi. Tidak ada seorangpun di kelas yang riuh, kami hanya menunggu, ok-lah, kita lihat saja nanti, paling gagal dan dibantu ketua program. Bisik kami.

Dan saat itupun tiba, semua orang terhenyak dan diam. Bukan karena Jati tampil lancar dan tidak terbata-bata, juga bukan karena presentasinya tiba-tiba jadi hebat, tapi karena segala kekurangan yang kami sudah prediksikan itu benar ditampilkan apa adanya dan Jati tidak mundur selangkahpun!

Waktu presentasi, Jati gemetar, kertas di tangannya kelihatan bergerak hebat, suaranya juga terasa tersendat disetiap kata-kata yang diucapkan, keringat dingin keluar satu-satu, namun Jati tetap terlihat bertekad menyelesaikan tugas presentasinya. Jati tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya berdiri, atau menoleh ke ketua program untuk meminta pertolongan. Jati menyelesaikan tugasnya. Dan Ia berhasil!

Saya merasa tertampar dengan pesimistis saya. Benar Jati tidak sempurna, tapi Jati punya tekad yang jauh lebih baik dari saya, tekad belajar dan menghadapi kekurangan pada dirinya dan tidak minder karena itu. Fakta bahwa Jati gemetar, tersendat, dan berkeringat dingin adalah karena efek psikologis yang Ia harus olah, karena otak memberikan reaksi atas suatu keadaan yang tidak nyaman dihadapi. Itu saja. Jati tidak kalah.

Berbulan-bulan setelah itu, sekitar enam bulan kemudian, Jati mengejar ketertinggalannya. Berbulan-bulan setelah penampilan pertamanya itu, Jati semakin sering mengajukan diri untuk maju, jika tidakpun, Jati sering berinisiatif untuk memimpin diskusi. Jati terus berusaha memperbaiki kekurangannya sampai kami terbiasa melihatnya menjadi orang yang sekarang, yang tidak terbata-bata, tidak gemetar, tidak berkeringat dingin setiap kali maju. Kami lupa Jati yang dulu, karena Jati yang sekarang benar-benar berubah, dan itu yang kami ingat.

— Untuk Jati dimanapun berada, I learned a lot from you, Deedee —