Sore itu janjian bertemu dengan seorang anak kuliahan yang sudah masuk semester akhir. Perbincangan seru, sampai meluncurlah kata-kata yang bikin kuping berdiri, ‘takutnya begini-begitu’…

Hhhhhh, kesekian kalinya dengar kata-kata ini, kesekian kali juga gemas.

Kebiasaan sebagian kita untuk ‘memprediksi sesuatu dengan cara yang salah’. Cenderung membuat diri sebagai korban pikiran, yang pada faktanya tidak perlu juga sebenarnya menjadi korban. Toh belum melakukan apa-apa.

‘Takutnya mereka tidak suka presentasi aku gitu, Deedee’

‘Takutnya jadi terlihat bodoh’, lanjutnya.

‘Sudah dikerjakan? Sudah direncanakan? Usaha apa saja yang sudah dibuat kalau tahu akan gagal?’ jawab saya.

‘Belum semua, Deedee’, jawabnya.

Ouh Dear… Ini adalah ketika kita terpenjara oleh olah pikir kita sendiri. Ketika perasaan jauh lebih berperan daripada keinginan itu sendiri. Jika keinginan untuk berhasil itu benar-benar keras, seharusnya kita sudah mulai mengatur dan membuat rencana keberhasilan itu. Berusaha mendekati tujuan. Menambal kekurangan-kekurangan sehingga yakin kita bisa berlari lebih baik.

Kita juga bisa membuat rencana jauh lebih baik, mungkin bisa juga untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan. Bukan terpuruk pada ketidakbisaan. Yakinkan juga untuk siap jika tidak cepat atau tidak berhasil sempurna jika tidak senang dibilang gagal.

Tidak mengapa untuk gagal dalam menapaki sebuah keinginan, yang penting bergerak, bukan hanya berasa-rasa. Jangan biarkan pikiran kita berpesta atas rasa-rasa yang membuat kita jadi mengasihani diri untuk tidak apa-apa menjadi bodoh.

We own our own mind
We own our own soul
We own all the consequences of our action
Why bother to play as a victim?
Be hero to yourself, fight!

Pada Sebuah Perbincangan Sore
19 November 2016 – DC